Pengantar Diktat Hukum
Ma'af untuk konten atau materi yang ada memang tidak semuanya merupakan postingan/tulisan saya sendiri, namun demikian hal tersebut saya maksudkan memang untuk memenuhi subyektifitas tematik.
dan saya memohon ma'af apabila memang ada sebagian dari posting atau tulisan yang tidak atau belum diterbitkan dengan ijin penulis aseli, akantetapi posting/tulisan tersebut tetap saya tampilkan secara aseli beserta penulis, dan bila memang ada yang belum/tidak terdapat nama dan sumber aseli maka sekali lagi saya mohon ma'af atas kealpaan saya hingga lupa dari blog atau/situs mana saya memperolehnya pada saat mengkopi.
sekali lagi harap maklum dan saya akan terima komentar serta kritik melalui media penghubung yang telah saya sediakan.
dikarenakan blog/site ini hanyalah sekedar sarana berbagi materi, teori dan doktrin dalam bidang hukum semata, namun saya usahakan bahwa posting berdasarkan kajian saya pribadi akan saya sampaikan kemudian - dan memang saat ini belum semuanya dapat saya upload dikarenakan sesuatu kepentingan profesional.
blog dari blogger yang punya profesi sebagai praktisi hukum, sekedar share tentang ilmu dan keilmuan hukum secara teori dan praksis serta pengetahuan umum.
terimakasih,
wasalam.
Perdata bag. 7 (Eksekusi)
Hal menjalankan putusan hakim diatur dalam bahagian kelima mulai pasal-pasal 195 s. d. 224 HIR atau Stb. 1941 No. 44 yang berlaku di pulau Jawa dan Madura, sedang untuk daerah diluar pulau Jawa dan Madura digunakan bahagian keempat pasal-pasal 206 s.d. 25 RBg atau Stb. 1927 No. 227. Peraturan ini tidak hanya mengatur tentang menjalankan eksekusi putusan pengadilan saja akan tetapi juga memuat pengaturan tentang upaya paksa dalam eksekusi yakni sandera, sita eksekusi, upaya lain berupa perlawanan (Verzet) serta akta otentik yang memiliki alasan eksekusi yang dipersamakan dengan putusan yakni akta grosse hipotik dan surat hutang dengan kepala “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.[5]
Dalam Undang-undang (darurat) No. 1 tahun 1951 tidak terdapat perkecualian terhadap berlakunya hukum acara perdata sehingga berlakulah penuh kedua Undang-undang mengenai acara perdata.[6]
Cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi diatas diatur mulai pasal 195 sampai pasal 224 HIR, namun pada saat sekarang tidak semua ketentuan pasal-pasal tadi berlaku secara efektif. Yang masih benar-benar berlaku efektif terutama pasal 195 sampai pasal 208 dan pasal 224 HIR. Sedangkan pasal 209 sampai pasal 222 HIR yang mengatur tentang “Sandera”, tidak lagi diperlakukan secara efektif. Seorang debitur yang dihukum “Disandera” sebagai upaya memaksa sanak keluarganya melaksanakan pembayaran menurut putusan pengadilan.[7]
Surat Edaran Mahkamah Agung No.2/1964 tanggal 22 Januari 1964 juncto Surat Edaran Mahkamah Agung No. 04/1975 tanggal 1 Desember 1975 membekukan keberlakuan pasal 209 sampai dengan pasal 222 HIR, karena sandera bertentangan dengan salah satu sila dari dasar falsafah negara Indonesia, yaitu bertentangan dengan sila Prikemanusiaan, salah satu dari Pancasila. Oleh karena itu berdasarkan Surat Edarannya diatas Sandera dilarang untuk diperlakukan (vide putusan Mahkamah Agung tanggal 6 Pebruari 1975 Reg. No. 951 K/Sip/1974, termuat dalam “DIAN YUSTISIA’, Pengadilan Tinggi Bandung, 1978, hal. 378-382).[8]
Selain peraturan peraturan di atas masih ada peraturan lain yang dapat menjadi dasar penerapan eksekusi.
0 komentar :
Posting Komentar
komen atau kritik dipersilakan selama nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain.
karena saya sendiri nggak punya ilmu-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.