Seorang lawyer, katakanlah ‘A’, berada dalam sebuah pertemuan bersama kliennya, ‘B’ dan business partner dari kliennya, ‘C’. Mereka akan menandatangani sebuah kontrak yang telah di draft oleh A. C tidak didampingi oleh penasehat hukum. Pada pertemuan tersebut C kelihatan tidak keberatan apabila harus menandatangani kontrak yang di draft oleh A tersebut tanpa negosiasi ulang. A tahu, bahwa apabila C menandatangani kontrak tersebut maka bisnis C akan rugi besar. Sebagai lawyer B, apakah A memiliki kewajiban moral untuk memberitahukan C akan konsekuensi yang dapat timbul dari ditandatanganinya kontrak tersebut?
Jawaban sementara atas dilema diatas (selanjutnya disebut sebagai “Kasus Hipotetis”) adalah ‘ya’. A, memiliki kewajiban moral untuk menginformasikan akibat dari ditandatanganinya kontrak tersebut kepada C, bahwa C dapat mengalami rugi besar. Kewajiban A adalah sebatas memberikan forewarn yang umum sifatnya kepada C. Apakah C akan memperhatikan peringatan tersebut atau tidak adalah bukan lagi tanggung jawab A. Apabila A melaksanakan kewajiban moralnya untuk memperingatkan C, maka A telah bertindak sesuai dengan moralitas. Apabila tidak, maka A telah melanggar moralitas. Kemudian, saya mengadakan survei iseng kepada 5 orang yang bekerja di firma hukum dan 1 orang yang menjadi legal officer, yang menarik adalah kesemuanya menjawab dengan jawaban yang sama: ‘tidak’.
Argumentasi terhadap jawaban ‘tidak’
Kata ‘tidak’ tersebut bukannya tanpa hujjah. Mereka yang menjawab demikian menyediakan alasan-alasan yang cukup rasional meskipun dapat diperdebatkan, yakni (1) tidak adanya hubungan kontraktual penyediaan jasa hukum antara A dengan C (2) kewajiban moral A terhadap C dikesampingkan karena A memiliki hubungan klien-pengacara dengan B dan (3) apabila diasumsikan bahwa A memiliki tugas moral untuk memperingatkan C maka tugas moral tersebut tidak dapat dipraktekkan (impractical). Masih ada beberapa pendapat lain seperti ‘salah mereka kenapa tidak sewa lawyer’ atau ‘ya memang hidup ini keras, man’ tetapi pendapat-pendapat tersebut tidak dapat dibahas dalan tulisan ini.
Terhadap jawaban ‘tidak’ tersebut dapat diberikan beberapa argumentasi:
1. Apakah kewajiban moral bersumber dari hubungan kontraktual?
Salah satu pendapat yang dipertahankan dengan keras oleh salah seorang kawan adalah kalaupun tugas untuk memperingatkan tersebut memang ada, apa dasarnya?
Jawaban yang telah saya coba untuk ajukan adalah, kewajiban moral independen dari hubungan kontraktual. Moralitas berbeda dengan legal. Apa yang bermoral belum tentu legal dan apa yang legal belum tentu bermoral. Jadi ketika ditanyakan ‘apa dasarnya’, sudah pasti tidak dapat ditunjukkan hitam diatas putih tertulis bahwa kewajiban tersebut ada.
Ada analogi yang dapat diajukan atas Kasus Hipotetis diatas. Umpamanya ada seorang buta berjalan melewati kita dan didepannya terdapat lubang. Tentu hampir semua menyetujui bahwa kita memiliki kewajiban moral untuk memperingatkan orang buta tersebut bahwa didepannya terdapat lubang. Kewajiban kita berakhir ketika tugas untuk memperingatkan tersebut sudah dilaksanakan. Apabila orang buta itu kemudian berkata “saya tidak percaya ucapan anda, saya pikir anda berbohong” dan kemudian jatuh ke lubang, itu sama sekali bukan salah kita. Nah, yang ingin diketengahkan disini adalah kita secara intuitif mengakui keberadaan kewajiban moral untuk memberi peringatan kepada orang buta tersebut. Kewajiban moral ini tidak bersumber pada aturan tertulis manapun.
Analogi yang dapat ditarik adalah 1) orang buta tersebut sama dengan C, 2) lubang tersebut adalah kontrak dan 3) ‘kita’ adalah A (lawyer). Maka, sumber kewajiban moral “kita” terhadap orang buta sama dengan sumber kewajiban moral A terhadap C, yang eksis tanpa perlu adanya acuan terhadap hukum tertulis manapun.
Seperti yang kita ketahui, kewajiban moral adalah imperatif kategoris dan bersumber dari conscience (Kant). Imperatif berarti bersifat mewajibkan dan kategoris berarti tanpa syarat. Tiga hukum utama dalam hal ini adalah 1) bertindaklah sesuai dengan aturan yang apabila dilakukan akan menjadi aturan umum (maxim) dan 2) bertindaklah sehingga orang lain menjadi tujuan dari tindakan tersebut dan bukan sekadar alat.
Timbul pertanyaan, apabila demikian kasusnya, maka tidak sama dengan Kasus Hipotetis diatas, karena hanya mencakup “kita” (A) dan “orang buta” (C) sedangkan B tidak terwakili. Maka yang menjadi pertanyaan kemudian adalah apakah kehadiran B (client) merupakan determining factor dalam mengesampingkan kewajiban A (lawyer) untuk memberikan forewarn kepada C? Hal ini akan dibahas pada point berikut dibawah.
2. Apakah hubungan client-pengacara dapat mengesampingkan kewajiban moral terhadap orang lain?
Mereka yang menjawab dengan alternatif kedua, bahwa A tidak berkewajiban memberikan peringatan kepada C karena A memiliki kewajiban atas B (clientnya), sebenarnya mengakui bahwa kewajiban moral untuk forewarn itu ada pada diri A. Hanya saja, kewajiban moral ini dikesampingkan karena A juga memiliki tanggung jawab etik atas clientnya. Mungkin, apabila situasinya adalah A tidak memiliki hubungan client-attorney dengan B dan kemudian dimintai pendapat atas kontrak tersebut oleh C, mereka yang memilih alternatif kedua akan lebih cenderung kepada jawaban bahwa A memiliki kewajiban moral untuk sekedarnya memberikan saran-saran kepada C.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah hubungan client-pengacara dapat mengesampingkan kewajiban moral terhadap orang lain? Hubungan client-pengacara dihasilkan dari kontrak sedangkan kewajiban moral independen atas kontrak dan merupakan sesuatu yang owed to mankind. Tidak atas suatu alasan apapun yang membenarkan bahwa kewajiban atas client dapat menghalangi seorang pengacara untuk berlaku ‘adil’ terhadap orang lain. Pengetahuan adalah beban. Mereka yang memilikinya memiliki tanggung jawab untuk menerangi yang lain dari kesesatan. Terlebih lagi, profesi kepengacaraan sering disebut sebagai ‘officium nobile’, sebuah jabatan mulia di tengah-tengah masyarakat. Jabatan mulia ini ada karena tujuannya bukanlah untuk mencari keuntungan semata, namun diberikan beban untuk melayani keadilan, sedangkan keuntungan tidak lebih merupakan ekses dari tugas mulia tersebut. Dengan demikian, kewajiban untuk berlaku adil kepada orang lain yang bukan klien, siapapun orangnya adalah lebih besar dari pada kewajiban moral yang dapat timbul terhadap klien. Oleh karena itu, kewajiban A terhadap C tidak hilang dengan adanya hubungan client-attorney A dengan B, karena dengan memberikan forewarn kepada C, A telah menjalankan kewajibannya sebagai Officium Nobile: serving justice, not merely the client.
3. Kewajiban moral yang tidak praktikal?
Sanggahan ketiga terhadap jawaban ‘ya’ atas Kasus Hipotetis diatas adalah karena kewajiban seperti itu tidak realistis untuk dilaksanakan. Argumentasi yang dapat diajukan adalah bahwa validitas dari suatu proposisi moral tidak tergantung kepada apakah proposisi itu dapat dipraktekkan. Apa yang bermoral tidaklah selalu legal, populer dan dapat dipraktekkan. Seringkali apa yang bermoral justru bertentangan dengan hukum positif, melawan pendapat orang banyak dan kelihatan tidak dapat dipraktekkan.
Jalan keluar dari Rawls
Ketika berdiskusi dengan seorang teman mengenai masalah ini beberapa hari yang lalu, saya mendapat ide untuk menyambungkan Kasus Hipotetis ini dengan teori keadilannya Rawls. Untuk menjawab pertanyaan mengenai keadilan, John Rawls dalam ‘a theory of justice’ memberikan alternatif jalan keluar dengan menggunakan mind game.
Adalah rasional misalnya, bagi seorang yang kaya-raya untuk menentang usulan menaikkan pajak untuk kesejahteraan umum. Namun demikian sebaliknya, untuk seorang yang miskin, adalah rasional bagi dirinya mendukung usulan menaikkan pajak untuk kesejahteraan umum. Keduanya memiliki kepentingan yang berbeda dan akan berpendapat sesuai dengan kepentingannya masing-masing. Pertanyaannya, kebijakan manakah yang akan diambil oleh pemerintah? Kebijakan manakah yang paling adil? Sebagai jawaban atas pertanyaan seperti ini, Rawls menyuguhkan jawaban dengan menggunakan dua kondisi imajiner yang menghasilkan satu rule; Original Position, Veil of Ignorance dan Maximin rule.
a) Original Position
Original Position atau posisi awal adalah sebuah kondisi imajiner dimana setiap orang berada dalam keadaan awal yang sifatnya setara. Diasumsikan bahwa dalam keadaan awal ini semua orang memiliki hak dan akses yang sama untuk memilih prinsip yang akan mereka terapkan apabila mereka dikembalikan kepada kenyataan nantinya.
Original Position ini berguna dalam membuat kebijakan publik, atau misalnya konstitusi. Dalam membuat konstitusi harus diumpamakan bahwa masyarakat pada saat konstitusi itu belum dibuat, berada dalam keadaan in natura, dalam kondisi setara, tanpa kelas dan tanpa hierarki.
b) Veil of ignorance
Orang-orang yang berada dalam Original Position ini kemudian diasumsikan berada dibelakang veil of ignorance. Dalam hal pembuatan konstitusi misalnya, mereka diasumsikan tidak tahu, bahwa setelah dikembalikan kepada kenyataan mereka akan menjadi turunan ningrat, orang berkulit putih, anggota suku terpencil, industrialis kaya, buruh atau orang kulit hitam. Mereka tidak tahu tingkat intelektualitas mereka nantinya, kekuatan, kesehatan dan hal-hal sejenisnya. Karena, apabila mereka tahu bagaimana nantinya status dan peranan mereka dalam kehidupan kemasyarakatan, maka dalam membuat klausul konstitusi mereka akan cenderung berpihak pada kepentingannya. Yang nantinya menjadi industrialis ingin agar upah buruh murah, yang nantinya ditakdirkan menjadi buruh ingin gaji yang paling tinggi dan banyak libur. Dengan Veil of ignorance, masyarakat tidak tahu posisi mereka dalam kenyataan. Veil of ignorance ini penting supaya konstitusi, hukum atau kebijakan publik lainnya yang dihasilkan nantinya berlaku adil bagi setiap anggota masyarakat
c) Maximin Rule
Karena mereka semua dalam Original Position memiliki kesetaraan dan tidak bisa melihat kepada kenyataan karena dihalangi oleh Veil of Ignorance maka pengambilan keputusan yang paling rasional bagi para pihak adalah keputusan Maximin (Maximum Minimorum), mengambil keputusan yang paling maksimal dari pilihan minimal, sebagaimana terlihat dari tabel berikut ini:
Circumstances
Decisions C1 C2 C3
D1 -7 8 12
D2 -8 7 14
D3 5 6 8
Sumber: Rawls, a theory of justice p. 163
Dalam tabel gain-loss diatas, angka-angka mewakili ratusan Dollar, D berarti decisions (keputusan) dan C berarti circumstances (keadaan). Jika para pihak memilih D1, maka akan dihadapkan pada tiga kemungkinan keadaan dimana satu keadaan (C1) pasti membawa mereka rugi tujuh ratus dollar. Oleh karena itu, Decision yang paling rasional dari para pihak adalah D3, karena apabila rugi, tidak terlalu merugi, walaupun apabila untung, tidak terlalu berlebih.
d) Membawa Maximin Rule kepada Kasus Hipotetis
Dalam Kasus Hipotetis diatas, terdapat tiga circumstances: 1) A (lawyer), B (Client) dan C (Business Partner). Selanjutnya, saya akan mengintrodusir tiga kemungkinan decisions: 1) mengamandemen kontrak sehingga makin menguntungkan B, 2) lawyer diam dan tidak memberikan peringatan dan 3) lawyer memberikan peringatan pada C.
Original Position. Pertama-tama, kita membawa A, B, dan C kedalam konstruksi imajiner Rawls, the original position. Kita membayangkan A, B dan C belum diciptakan dan mereka berada dalam posisi awal yang setara, tanpa hierarki, tanpa kelas.
Veil of Ignorance. Kedua, baik A, B dan C tidak mengetahui apakah dalam Kasus Hipotetis tersebut nantinya mereka akan berperan sebagai lawyer, client atau business partner karena mereka berada dibalik veil of ignorance.
Sekarang, A, B dan C harus memutuskan Kasus Hipotetis diatas dengan 3 alternatif decisions (D1, D2 atau D3).
Circumstances
Decisions lawyer client Business partner
D1 8 12 -12
D2 5 8 -8
D3 4 6 6
Kita umpamakan angka-angka diatas bernilai ribuan dollar. Pada D1 (lawyer mengamandemen kontrak sehingga lebih menguntungkan client) maka lawyer akan mendapat 8 ribu, 4 ribu harga jasa hukum, 2 ribu bonus dan 2 ribu sebagai ucapan terima kasih dari client, client akan mendapatkan keuntungan berlipat sebesar 12 ribu, sedangkan business partner akan rugi total sebesar 12 ribu karena di perdaya oleh lawyer dan client. Pada D2 (lawyer diam dan tidak memberikan peringatan), lawyer akan menerima 4 ribu sebagai haknya atas pembayaran jasa hukum, dan 1 ribu bonus. client akan mendapatkan 8 ribu dan business partner akan kehilangan uang sejumlah 8 ribu. Dalam D3 (lawyer memberikan peringatan), lawyer hanya akan mendapat 4 ribu sebagai uang jasa hukum, client hanya akan mendapat 6 ribu (karena business partner meminta revisi kontraknya setelah diberikan peringatan oleh lawyer) dan business partner juga mendapat 6 ribu.
Apabila A, B dan C diletakkan pada original position dan berada dibalik veil of ignorance, pilihan yang paling rasional yang dapat mereka buat adalah D3, sesuai dengan Maximin Rule. Alasannya, pilihan d3 adalah yang paling kecil resikonya. Dalam setiap pilihan terkandung kemungkinan A, B, maupun C untuk pada kenyataannya nanti menjadi business partner. Sebagai antisipasi hal ini maka A, B dan C akan cenderung untuk memperbesar reward bagi business partner (maximizing the minimum) kedalam suatu jumlah yang setidak-tidaknya tidak terlalu merugikan. Kesimpulan yang bisa ditarik dari eksperimen ini adalah bahwa prinsip/kebijakan yang paling adil dan rasional bagi A, B dan C dalam Kasus Hipotetis diatas adalah, agar A memberikan peringatan kepada C.
Kesimpulan
Dalam tulisan ini saya telah menguraikan pandangan etika mengenai keputusan yang paling adil dan rasional dari sebuah Kasus Hipotetis. Satu hal yang mungkin perlu dicatat adalah ethical reasoning berbeda dengan legal reasoning. Argumentasi etis seringkali lebih dekat kepada perhitungan ilmu-ilmu alam.
Dari keseluruhan pandangan etik yang dipaparkan, jawaban yang paling adil atas Kasus Hipotetis diatas adalah ‘ya’, seorang lawyer harus memberikan peringatan kepada business partner clientnya apabila dirinya mengetahui business partner clientnya itu akan dirugikan dari transaksi yang akan mereka masuki.
Jawaban ‘ya’ ini baru merupakan kebenaran yang diperoleh dari ethical reasoning semata dan hanya bisa difalsifikasi oleh ethical reasoning lainnya. Satu hal lain yang harus dievaluasi adalah kebenaran sosiologis dari jawaban tadi. Akan sangat menarik sekali apabila diadakan penelitian mengenai jawaban-jawaban para lawyer atas Kasus Hipotetis diatas, kemudian jawaban itu diperbandingkan dengan jawaban dari masyarakat umum. Apabila ditemukan perbedaan, misalnya, mayoritas lawyer menjawab ‘tidak’ sedangkan mayoritas masyarakat menjawab ‘ya’, maka dapat disimpulkan bahwa mayoritas lawyer memiliki pandangan etika yang bertentangan dengan mayoritas masyarakat.
Dalam menjalankan tugas sebagai ‘officium nobile’ hal-hal seperti Kasus Hipotetis ini kelihatannya banyak ditemui. Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip joke dari teman saya ketika mengomentari Kasus Hipotetis diatas dan agak terdesak dengan pertanyaan “do you serve justice or your client?”. Atas pertanyaan tersebut teman saya menimpali: “I’ll serve justice, for my client…”
Wallahu’alam.
Mohamad Mova Al ‘Afghani
Related Posts:
Advokatur
0 komentar :
Posting Komentar
komen atau kritik dipersilakan selama nggak nyangkut SARA atau hal sensitif lain.
karena saya sendiri nggak punya ilmu-nalar-logika yang mumpuni buat njaga agar nggak keluar jalur.